Naluri Berorganiasi : Ber-PMII-mu Rasional atau Emosional

 Ber-PMII-mu : Rasional atau Emosional ?

pmiisa


Selain otak untuk berfikir, Allah SWT juga memberi bekal kepada manusia berupa naluri, yang berfungsi untuk menggerakkan seseorang merespon suatu rangsangan tertentu. Naluri tidak dipelajari tetapi sudah melekat dalam diri manusia sejak ia dilahirkan. Perihal naluri salah satunya adalah naluri manusia untuk berkelompok, berkumpul dan sifat naturalistik itu salah satunya disalurkan dalam organisasi. Naluri berkumpul itu apabila tersalurkan akan menciptakan suatu kepuasan, rasa bangga, dan gembira bagi pelakunya. Mahasiswa misalnya, tidak jarang mereka yang tegabung dalam organisasi baik ekternal atau internal seperti BEM, SEMA, atau mungkin PMII akan merasa senang. Sebab menjadi bagian dari organisasi seakan-akan memberi ruang pengakuan dari orang lain, bahwa dirinya dianggap ada, dipercaya, berpengaruh, dihargai, dan atau dapat melakukan sesuatu.

Orang yang sudah begitu mencintai suatu organisasi, maka organisasi itu akan dianggap sebagai dirinya. Ia akan melakukan apapun demi menjaga nama baik dirinya, merawatnya, dan melindungi dari segala ancaman yang ada. Siapapun, apapun dan bagaimanapun tantangan yang akan menghadang, dirinya akan tetap melawan. Maka tidak heran jika banyak orang rela mati demi organiasinya, berkorban nyawa untuk kelompoknya. Terkadang hal itu menjadi sulit untuk dinalar.

Dalam memilih suatu organisasi, pertimbangan seseorang  bisa didasari dengan sifat rasional atau emosional. Pertimbangan rasional itu cenderung didasari oleh perhitungan, yaitu mereka akan mengkalkulasikan tentang apa dan seberapa banyak keuntungan yang akan diperoleh. Keuntungan yang dimaksudkan tidak selalu berupa uang, barang, atau harta kekayaan, tetapi bisa juga berupa keuntungan immatrial seperti kedudukan, kekuasaan, pengakuan, jabatan, identitas, pengaruh, pengalaman, relasi, pertemanan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Hasil keikutsertaan seseorang bersifat rasional akan dapat dilihat, diukur dan di evalusi. Sehingga sesorang bisa saja bertahan dalam organisasi tersebut manakala mendapat manfaat  atau keuntungan untuk dirinya. Seseorang yang keluar dari barisan keanggotaan atau simpatisan kemungkinan besar adalah mereka yang tidak terakomodir, tidak memperoleh manfaat, dan tidak mendapat apa yang diinginkan atau bahkan merasa dirugikan. Oleh karena sifat rasionalnya, yaitu menghitung untung dan rugi secara jelas, maka sikap yang ambil juga jelas (bertahan atau meninggalkan).

Kondisinya akan berbeda jika seseorang didorong secara emosional untuk ikut dalam organisasi. Maksud dorongan emosional disini contohnya adalah mereka yang masuk suatu organisasi karena ikut-ikutan teman, saudara, kerabat, atau untuk meneruskan tradisi keluarga maupun lingkungan. Tingkat fanatik seseoarang ditunjang rasa tanggungjawab yang melekat pada dirinya karena harus meneruskan tradisi keluarganya dulu, atau memiliki publik figur yang menjadi pemimpin di organisasi tersebut, atau mungkin karena memang telah tertanam ajaran dalam dirinya sebab pengaruh lingkungan. Seseorang tidak lagi memperhitungkan untung dan ruginya, sebab status keanggotaannya bukan berdasarkan rasional tetapi dorongan emosional atas nama pertemanan, keluarga, atau sekedar meneruskan tradisi yang ada.  

 

Faktanya, seseorang yang status keanggotaannya dalam organisasi hanya berdasarkan pada hubungan emosional atau tradisi semata justru lebih kokoh. Mereka menepatkan posisi dirinya sebagai bagian penting dari organisasi. Dalam berperan menjalankan tanggungjawabnya, seseorang tidak banyak pertimbangan, dan bahkan mereka siap membela dan berkorban dengan tanpa memperhitungkan tingkat kerugian. Hatinya merasa terpanggil untuk melakukan apa saja, meskipun mereka sebetulnya tidak tahu apa yang akan diperolehnya setalah dikerjakan. Dalam dirinya hanya akan berusaha sebisa mungkin untuk mengikuti agenda-agenda dalam organisasi tanpa harus memikirkan untungnya. Itulah mengapa organisasi yang diikat dengan kekuatan emosional, ternyata ikatannya lebih kuat.

Dalam lingkungan kampus, keikutsertaannya dalam sebuah organisasi atas dorongan emosional bisa kita liat dalam PMII. Misalnya sebagian dari mereka adalah santri yang hendak mengabdi pada Mbah Hasyim melalui organisasi NU. Oleh sebab itu mereka memilih PMII sebagai wadah untuk berorganisasi semata-mata untuk mengabdi pada Mbah Hasyim. Mahasiswa yang keikutsertaannya dalam PMII atas rasa hormat, ta’dzim, dan mencari ridho dari Mbah Hasyim adalah mereka yang terdorong secara emosional untuk nguri-nguri NU. Mereka tidak memiliki banyak target untuk mendapatkan sesuatu berupa material, tetapi mereka membangun prinsip agar bagaimana nilai-nilai, konsep-konsep, paradigma, dan ajaran-ajaran dari NU terus  melekat dan tidak punah. Kekuatan yang mendorongnya untuk tetap berkomitmen adalah bentuk ideal daripada organisasi tersebut. Dengan begitu akan tidak ada habisnya seseorang memperjuangankannya, sebab nilai-nilai itu dirasa perlu abadi dan terus diwariskan kepada anak turunnya nanti.  

Sementara itu, organisasi yang bersifat rasional, yang diperlukan bagi orang yang terlibat adalah kejelasan dari keuntungan yang akan diperoleh. Apabila keuntungan yang diharapkan tidak tercapai atau tidak ada, maka kemungkinan besar mereka memilih meninggalkan organisasi tersebut atau bahkan tidak berminat sama sekali. Secara logika masuk akal, mungkin sebagian besar orang akan berbendapat bahwa keikutsertaan dalam organisasi tentu ada hal-hal yang ingin diperoleh. Bahkan tidak jarang juga organisasi yang menawarkan banyak keuntungan kepada calon anggotanya, biasanya hal itu berfungsi untuk menarik minat seseorang agar bergabung, simpelnya semacam promosi. Saya sepakat dengan hal itu, tetapi tidak kemudian semua oraganisasi akan sama, sebab kita perlu melihat latar belakang dari organisasi tersebut, apakah organisasi keagaman, sosial, politik, atau lainnya. Kemudian apakah organisasi tersebut memberikan keuntungan atau tidak. Organisasi yang bergerak di bidang bisnis atau koperasi adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan adanya hubungan-hubungan yang bersifat rasional itu.

Dari ocehan diatas dapat sedikit diambil kesimpulan, bahwa seseorang yang mencari keuntungan dalam organisasi berupa matrial atau immatrial adalah mereka yang mengedepankan sifar rasionalnya. Sedangkan mereka yang keikutsertaannya mengedepankan emosional adalah mereka yang membawa komitmen atas nama sesuatu hal dan tidak mengharapkan keuntungan dari organisasi.

Wallahu’Alam

 

 

 

Tulisan ini isnyaAllah tidak mengandung unsur-unsur pelecehan, tetapi masih perlu banyak koreksi dan masukan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.