Sepotong Hati yang Terlanjur Rapuh

 


Sepotong Hati yang Terlanjur Rapuh

Karya : Arina Unsiyati

(Telah terbit dan menjadi kontributor terpilih pada event Lomba Cerpen Nasional yang diselenggarakan oleh Senada Pustaka dengan judul buku “Jejak Kasih Cinta”)

 

Langkah gontai gadis bermata sendu itu terdengar mantap. Ujung gamisnya menyapu koridor rumah sakit. Senyum mengembang tercetak di bibir manisnya. Namanya Hasna Khairani Syafina. Biasa dipanggil dengan sebutan Hasna. Gadis yang baru saja menikah muda kemarin. Apa lagi kalau bukan karena perjodohan. Usianya masih 20 tahun. Bahkan, ia baru semester empat di UIN Walisongo Semarang. Suaminya, Aksa, dengan nama lengkap Ahmad Aksa Arrayan, seorang arsitek muda berusia 26 tahun.

Senyum Hasna bahkan tak luntur saat dibukanya pintu kamar bertuliskan nomor 248 itu.

“Assalamualaikum, Ibu. Selamat pagi,” ucapnya pada wanita paruh baya yang membuatnya harus segera menikah itu. Ibu Hasna ingin agar anaknya menikah sebelum penyakit jantung itu benar-benar telah merenggutnya.

“Waalaikumussalam, sayang. Sendirian saja? Dimana suamimu?” Ibu berusaha untuk duduk.

Hasna tersenyum. “Mas Aksa sibuk, Bu.”

“Sibuk ngapain? Kalian juga baru nikah kemarin, ‘kan? Apa suamimu tak mengambil cuti?” tanya ibu sambil melihat Hasna yang mengganti air dalam vas bunga.

“Karena nikahnya yang mendadak, Bu. Mungkin Mas Aksa nggak sempat ngambil cuti. Dan juga, mungkin karena keadaan Ibu yang harus dibawa kesini setelah resepsi kemarin sore.” Bohong? Tentu, gadis itu berbohong! Hasna tak ingin ibunya tahu bahwa tak ada cinta dari Aksa.

“Baiklah, Nak. Ibu tak memaksamu untuk menikah dengan Aksa, ‘kan?”

Hasna duduk pada kursi disamping ibunya, lantas diambilnya tangan sang ibu. “Tidak, Bu. Sama sekali tidak. Seseorang yang Ibu pilihkan, insyaAllah akan selalu menjadi yang terbaik buat Hasna.”

“Lantas, kau masih mau melanjutkan kuliah bidikmisimu itu, atau kau mau keluar?”

“Hasna keluar saja, Bu. Persyaratannya kan tidak boleh menikah. Lagian, Hasna mau mengejar surga Hasna dari Mas Aksa saja, Bu.” Ibu hanya mengangguk.

Ponsel Hasna bergetar, menandakan ada pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.

‘Pulanglah, aku sudah dirumah. Aku mau membicarakan sesuatu padamu. Aksa.’

Tak usah terkerjut karena nomor ponsel yang tak disimpan. Bahkan, mereka tak saling mengetahui akun sosial media masing-masing.

‘Baik, Mas. Aku pulang sekarang.’

Setelah membalas pesan dari suaminya. Hasna segera beranjak dari duduknya.

“Mau kemana, sayang?”

“Hasna izin pulang ya, Bu. Mas Aksa sudah pulang kerja, Hasna harus melayaninya. Hasna juga belum siapin kopi dan air hangat untuk Mas Aksa,” tutur gadis penyuka senja itu.

“Iya, sayang. Urus suamimu saja, nanti adik kamu juga kesini kok. Lagian kan surga kamu berada pada suamimu. Ya sudah, hati-hati ya.” Hasna mengangguk, lantas mencium tangan sang ibu.

Hasna telah berada di depan rumah. Mobil sang suami telah terparkir disana. Setelah resepsi kemarin sore, Hasna diboyong Aksa menuju ke rumah Aksa sendiri.

“Assaalamualaikum, Mas Ak ....” Ucapan Hasna terpotong. Dilihatnya sang suami bersama wanita lain.

“Eh, Waalaikumussalam. Sudah pulang, ya? Bagaimana jalan-jalannya sama lelaki lain?” sindir Aksa.

“Apa maksudmu, Mas? Aku habis dari rumah sakit, Mas.” Hasna menahan air matanya. Ia harus kuat.

“Tak pentinglah. Oh, iya ... aku mau memperkenalkan seseorang padamu. Perkenalkan, dia Rania, istri siri aku, bahkan sebelum aku dipaksa menikah denganmu. Aku tahu, walaupun aku sama dia hanya siri, dan aku sama kamu sah dalam mata agama, tapi aku mencintainya. Aku tak mencintaimu sama sekali!” Ucapan itu, sungguh menusuk hati Hasna. Sakit yang tak berdarah. Menusuk hingga hati yang terdalam, membuatnya rapuh, namun tak berbekas. Sekuat-kuatnya Hasna menahan air matanya, wanita tetaplah wanita. Yang selalu lemah.

“Apapun ucapanmu itu, aku menghormatimu, Mas.” Hasna menunduk, menatap kedua ujung sepatunya.

“Mulai malam ini, kau tidur di kamar tamu, kamar utama untuk aku dan Mas Aksa,” ucap Rania menegaskan.

“Mas, aku izin untuk menemani ibu di rumah sakit, kasihan ibu tak ada yang menjaga.” Hasna tidak hanya ingin menemani sang ibu, namun gadis itu ingin menenangkan hatinya, disamping sang ibu.

“Ya udah, sana! Kau tak usah pulang sekalian juga aku tak masalah!”

Itu ucapan terakhir yang Hasna dengar. Hasna sudah terlalu sakit. Bahkan, sejak Hasna diboyong ke rumah itu, ucapan tak mengenakkan selalu menusuk hatinya. Hasna selalu menahannya. Namun, tak seperti malam ini, hatinya sudah terlanjur sakit, haruskah sesakit ini?

Hasna terus berlari sambil menangis. Ia ingin segera sampai pada kamar ibunya, lantas memeluknya. Tak memperdulikan jarak yang lumayan jauh. Gadis itu bahkan tak memperdulikan setiap pasang mata yang memandangnya.

‘Tit ... tiit ....’ Suara klakson motor terdengar.

“Kak Hasna? Kakak kenapa?” Seorang laki-laki yang masih duduk di bangku SMA itu segera turun dari motornya dan menghampiri Hasna.

“Fa ... Fatih, kakak bingung harus ngapain sekarang. Kakak nggak mungkin ‘kan nemuin ibu dengan keadaan seperti ini?” Lelaki bernama Fatih itu hanya terdiam, membiarkan sang kakak untuk bercerita.

“Kakak harus apa sekarang? Mas Aksa ternyata sudah memiliki istri, sejak pernikahan, kakak harus selalu menerima ucapan dan perilaku tak mengenakkan darinya. Sejujurnya, kakak bisa menerima. Namun, tidak dengan malam ini. Hati kakak sudah terlanjur sakit, Fatih.” Hasna menangis lagi, kini malah semakin menjadi.

Fatih menggertakkan giginya. Tangannya menggenggam hinga buku-buku jarinya nampak memutih. Ia tak bisa membiarkan sang kakak yang memutuskan sekolahnya demi menikah itu disakiti oleh suaminya.

“Fatih antarkan Kakak ke rumah, Kakak nggak usah ke rumah sakit dulu, nanti ibu malah kepikiran. Setelah Fatih antar Kakak kesana, Fatih langsung temani ibu.” Setelah memastikan Hasna mengangguk, Fatih segera mengantarkan kakaknya itu menuju ke rumah mereka. Setelah itu, ia tak langsung menuju ke rumah sakit, namun terlebih dahulu menuju ke rumah Aksa, suami Hasna.

Fatih memarkirkan acak motornya itu. Lantas mengetuk kasar pintu rumah Aksa.

“Mas Aksa! Keluarlah, Mas! Aku ingin meminta pertanggungjawaban kamu!”

Terdengar suara pintu terbuka. Dan wajah yang ingin sekali Fatih pukul malam itu keluar. Bukan dengan wajah yang terlihat sehat, wajah Aksa terlihat pucat.

“Fatih? Ngapain kamu kesini? Tak ada yang terjadi dengan Hasna, ‘kan?”

“Nggak usah sok peduli kamu Mas sama kakak!”

Mata Aksa memicing. Bingung. “Apa maksudmu?”

“Seharusnya aku yang nanya sama Mas Aksa! Apa maksud Mas Aksa dengan menjelekkan-jelekkan Kakak! Apa maksudnya Mas menikahi Kakak kalau Mas sudah mempunyai istri, meskipun itu adalah istri siri! Wanita itu lemah, Mas! Apa Mas nggak sadar bahwa ucapan Mas telah menyakiti hati Kakak!” Fatih kalut.

“Fatih, bukan maksud Mas sebenarnya. Rania itu sejatinya bukan istri siri aku. Dia saudara jauh aku. Aku sengaja melakukan ini, karena ....”

“Karena apa Mas? Karena Mas Aksa nggak suka ‘kan sama Kakak? Mas Aksa nggak mencintai Kakak!” Fatih memotong ucapan Aksa.

“Kak Aksa sebenarnya sakit. Tumor pada bagian retinanya, stadium akhir. Kak Aksa nggak ingin kalau mbak Hasna merasa kehilangan Kak Aksa, bahkan Kak Aksa tak ingin jika mbak Hasna meninggalkan Kak Aksa karena penyakitnya.” Rania tiba-tiba berdiri di belakang Aksa.

“Mas Aksa kira kak Hasna adalah wanita semacam itu? Bahkan, kak Hasna rela memutus kuliahnya demi menikah denganmu Mas! Apa itu kurang?” Fatih masih kalut. “Kak Hasna mencintai Mas, dengan setulus hatinya.”

“Sekarang dimana Hasna? Aku ingin menemuinya dan meminta maaf.” Aksa meraba saku celananya, mencari kunci mobilnya.

“Mas Aksa? Kenapa Mas nggak mau jujur sama aku?” Hasna telah berdiri di halaman rumah. Lampu halaman yang remang-remang membuat Hasna tak begitu terlihat.

“Hasna?” Aksa berlari kecil. Menghampiri istri yang sempat ia sakiti itu.

“Maafin aku, Has. Aku tak bermaksud menyakitimu.” Aksa membawa Hasna larut dalam dekapannya.

“Aku sudah maafin kamu, Mas. Sekarang, gantian Mas harus maafin aku. Dengan cara pakai mataku.”

Hasna mengeluarkan sebuah pistol yang entah darimana ia mengambil itu. Lantas menembakkan itu pada pelipisnya. Membiarkan tubuhnya lunglai pada pelukan Aksa.

“Hasna! Hasna, bangun, sayang! Mas minta kamu bangun. Maafin aku, sayang. Maafin aku!” teriak Aksa pada malam itu. Ia menyesali perbuatannya. Harusnya, bukan begini caranya.

Pada malam itu juga, sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya karena serangan jantung dadakan. Ada sesuatu yang membuat ibu Hasna menjadi risau. Siapa lagi kalau bukan, Hasna.


Ilustrasi oleh PMIISA Official

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.