Gerimis Rindu

 


Gerimis Rindu

Karya : Arina Unsiyati

 

“Bi, kau suka hujan?” tanya Anna saat aku menengadahkan kepala pada langit yang mendung. Sejak awal tahun, langit belum pernah menurunkan hujannya.

Aku menoleh ke arahnya, lantas menggeleng. “Tidak, aku tidak suka hujan. Namun, aku suka ....” Aku menggantungkan ucapanku.

“Suka apa, Abigail?” Anna bertanya antusias.

“Gerimis,” ujarku lirih.

“Gerimis? Kenapa? Padahal kebanyakan orang suka hujan daripada gerimis.” Anna melihatku aneh.

“Karena dia.” Aku bergeming.

“Dia? Siapa?”

 

***

 

“Ayo, Abigail. Terus mengayuh! Ayah yakin kau pasti berhasil!” teriak Ayah. Saat itu, usiaku tujuh tahun.

“Ayah! Abigail bisa!” teriakku tak kalah histeris saat aku berhasil menaiki sepeda baruku pemberian ayah itu.

Sore itu, Ayah menemaniku berlatih sepeda di taman kompleks. Setelah aku mengadu pada Ayah dan Ibu sepulang sekolah karena hanya aku yang belum bisa naik sepeda. Ayah lantas membelikanku sepeda baru.

Selepas latihan itu, kami tak segera pulang. Ayah membawaku menuju tukang es krim keliling, membeli dua es krim favorite ku.

“Untuk Ayah satu, Abigail nggak kuat jika harus menghabiskannya semua.” Aku memberikan satu es krim ku pada Ayah, beliau tersenyum dan menerimanya.

“Ayah suka hujan nggak?” tanyaku saat ku lihat langit mendung.

“Nggak terlalu suka, ayah lebih suka prosesnya.” Beliau menghabiskan suapan es krim terakhirnya.

“Kenapa?”

“Abigail kan sudah besar, Ayah akan jelasin ini.” Ayah menyamankan posisi duduknya. “Hujan berasal dari air laut dan sungai serta genangan yang menguap, membentuk awan yang bergerak naik ke atas. Saat awan sudah tak mampu menahan bebannya lagi, ia akan turun menjadi gerimis dan bisa menjadi hujan.”

Aku mengangguk paham. “Tapi kenapa Ayah suka prosesnya?”

“Hujan ibarat kebahagiaan, Bi. Proses tadi itu juga merupakan proses kamu mencapai kebahagiaan. Sedangkan gerimis, ia ambigu. Saat ia menjadi hujan, maka proses kamu berhasil, namun saat gerimis itu lantas menghilang, jangan sedih saat kamu gagal. Kamu bisa mengulang proses yang ada.” Ayah mengelus puncak rambutku saat aku mengangguk paham. “Abigail suka apa?”

“Dari dulu Abigail suka gerimis!” ujarku mantap.

“Kenapa Abigail suka sama gerimis?”

“Entah, tapi dari penjelasan ayah tadi, sepertinya Abigail tahu.” Aku bersemangat.

“Apa sayang?” Ayah mengelus lagi kepalaku.

“Abigail suka kegagalan.” Ayah terlihat bingung. “Sebelum Ayah bertanya kenapa, Abigail langsung jawab saja. Sebab, dari kegagalan Abigail tahu, bahwa Abigail bisa belajar dari kegagalan-kegagalan Abigail untuk mencapai sesuatu lebih dari yang Abigail inginkan, agar Abigail juga bisa mencapai kebahagian lebih dari yang Abigail bayangkan.”

“Pintar anak Ayah. Yuk, segera habiskan es krim mu. Kita harus segera pulang sayang, sebelum hujan turun.” Aku lantas menghabiskan es krim ku cepat.

Dini hari itu, sekitar pukul jam tiga pagi, Tante Ririn membangunkanku. Tante segera membawaku ke Rumah Sakit. Aku bahkan tak sempat bertanya kapan dan kenapa Tante datang saat itu. Entahlah, saat itu suasana mencekam. Seperti aku kehilangan sesuatu yang sangat berarti.

Saat mobil Tante menepi pada depan lobi, Tante langsung menarikku keluar dari mobil. Beliau memberikan kunci mobilnya kepada petugas dan langsung terburu-buru menuju ke kamar Dahlia nomor 112. Ya, aku masih ingat nomor itu

Setelah pintu itu terbuka, yang menjadi pertanyaanku terjawab sudah. Sosok yang menemaniku berlatih sepeda sore tadi, terkapar lemah di atas kasur rumah sakit. Aku langsung menghambur pada sisi kasur. Beliau masih bisa melihatku, dengan pandangan lemah. Sepertinya, sebelum tidur tadi, beliau masih sehat-sehat saja.

“Ayah kenapa?” Aku meneteskan air mata.

“Ayah tak apa-apa sayang.” Ayah mengelus pipiku dan menghapus air mataku. Beliau tersenyum lemah, wajahnya pucat pasi.

“Ayah sakit apa?” Aku memegang tangan Ayah.

“Ayah sehat sayang, Ayah nggak sakit kok.”

Tiba-tiba saja, Ayah memegang dadanya. Nafasnya tersengal-sengal. Tante menarikku mundur dari sisi Ayah. Ibu mendekat. Mendekap tangan Ayah sambil melafalkan kalimat-kalimat yang saat itu aku tak tahu apa. Aku ingin sekali mendekat, namun Tante masih memegangku erat.

Ibu selesai membaca kalimat itu, bersamaan dengan tenangnya Ayah. Aku yang belum tahu apa-apa merasa senang. Ku kira, Ayah tenang karena sakitnya sudah sembuh. Namun, aku salah. Faktanya, Ayah tenang untuk selama-lamanya, tepat pada tanggal 4 Januari 2009, tepat saat aku ulang tahun yang ke-delapan.

Setelah kepergian Ayah pada awal tahun 2009 itu, tepatnya dini hari itu, sampai selesainya proses pemakamannya, gerimis seakan ikut mengiringi kepergiannya. Gerimis seakan mengingatkanku, bahwa hari itu aku menggagalkan satu cita-citaku. Yaitu, membahagiakan Ayah dan Ibu.

 

***

 

Aku mengusap air mataku. Anna bergeming di sebelahku sambil memegang tanganku. Anna juga terbawa suasana, berkali-kali aku mendengar ia sesenggukan.

“Lantas? Ayah kamu sakit apa?”

“Baru kemarin, Ibu cerita sama aku, setelah sepuluh tahun kepergian beliau. Bahwa Ayah mengidap penyakit jantung. Ayah mendapatkan kabar malam itu bahwa kantornya dimaling sama orang, sehingga membuat Ayah terkejut dan menyebabkan jantungnya kumat.” Aku memandang manik mata Anna.

 “Lalu, apa hubungannya gerimis dengan kepergian Ayahmu?” tanya Anna.

“Karena, dengan gerimis, aku tahu, bahwa hal yang kusuka turut mengiringi kepergian Ayahku. Bahwa, dengan aku suka gerimis, aku tak akan melupakan Ayahku. Dengan aku suka gerimis juga, aku sadar, bahwa aku harus membahagiakan Ayahku yang diatas sana, dan Ibuku yang selalu mendampingiku.” Anna mengangguk, menyetujui ucapanku sore itu pada awal tahun 2019. Semoga Allah salah satu mengabulkan resolusiku tahun ini, yakni membahagiakan Ayah dan Ibuku.

 

Demak, 22 Januari 2019

 

***

 

Tentang Penulis           :

Arina Unsiyati, lahir di Demak, 28 April 2001. Gadis penyuka warna ungu dan senja. Menggunakan nama pena @lebahcantik28 pada setiap cerita di akun medsosnya, seperti Wattpad dan Joylada. Penulis adalah salah satu kader PMII Rayon Wahab Chasbullah

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.