Ini Tengah Malam, dan Aku Menangis
Ini Tengah Malam, dan Aku Menangis
Karya
: Arina Unsiyati
(Kader Rayon Wahab Chasbullah)
(Telah terbit dan menjadi kontributor terpilih pada event Lomba
Cerpen Nasional yang diselenggarakan oleh Grup Rumpi Menulis dengan judul buku
“Love Story of GRM”)
“Apa ini yang lo lakukan saat lo tahu
perasaan gue yang sebenarnya? Kalau sebenarnya, gue, Agatha Putri, jatuh cinta
kepada sahabatku sendiri?”
Wanita dengan balutan hijab hijau tosca yang seiras dengan gamisnya
termenung saat ia mengingat ucapannya kepada sahabatnya, Lucki Erlambang. Oh
iya, sebelumnya, wanita itu bernama Agatha Putri, seorang siswi SMA yang hanya
tinggal menantikan pengumuman kelulusan. Bersahabat dengan seorang lelaki sejak
mereka menginjak bangku SMP. Mungkin benar kata orang-orang, bahwa mustahil
dipersahabatan pria dan wanita tak ada yang namanya cinta.
Agatha mengakui perasaanya tumbuh di dirinya saat ia menginjak SMA.
Entahlah, mungkin perhatian yang diberikan Lucki kepadanya melebihi seorang
sahabat, mungkin. Atau jangan-jangan, hanya Agatha yang ke-ge-er-an. Hanya
sikap biasa namun Agatha kebawa perasaan. Bahasanya jaman sekarang itu, baper.
Siang tadi, Agatha yang capek setelah 3 tahun menunggu tanpa
kepastian, mengutarakan perasaannya secara gamblang ke Lucki saat mereka
menghabiskan masa cutinya menunggu hasil pengumuman di bukit bunga Anyelir,
bunga kesukaan Agatha. Saat Lucki memberinya bunga yang kemudian Lucki selipkan
di dekat telinga Agatha.
“Lucki, gue boleh ngomong sesuatu nggak?” tanya Agatha.
“Haha, lo tuh aneh deh, mau ngomong aja pake nanya dulu,” ucap
Lucki hanya disambut senyuman manis Agatha. “Ya udah, mau ngomong apaan? Gue dengerin
deh,” sambung Lucki.
Entahlah, tiba-tiba saja Agatha merasa persediaan oksigen di bumi
menipis. Pasalnya, ia sangat gugup. Keringat dingin mengucur dari dahinya.
Lucki yang terlihat bingung atas perubahan sikap Agatha pun masih sigap
mengambil sapu tangan di sakunya dan mengelap dahi Agatha.
“Lo itu kenapa?” tanya Lucki pada akhirnya.
“Hmm, gimana ya?” Agatha balik bertanya.
“Ha? Lo yang mau ngomong kok malah balik nanya ke gue. Haha, gimana
sih,” canda Lucki
“Eh, eh, eh... Gimana sih?” Agatha tambah gugup. Pasalnya, ini
pertama kali ia suka ke lawan jenis, pertama kali ia ingin mengutarakan
perasaannya.
“Kayaknya lo sakit deh, Tha. Pulang aja yuk,” ucap Lucki menarik
tangan Agatha. Lucki kemudian melepas tangan Agatha saat mengira wanita itu
cukup mengikutinya,
Lucki berjalan duluan di depan Agatha. Sambil mencari kunci
mobilnya di saku jeansnya.
“Lucki! Gue suka sama lo!” Entah keberanian apa yang muncul di diri
Agatha. Tiba-tiba saja Agatha mengutarakan perasaannya ke Lucki. Agatha tak
berfikir apakah ia pantas atau tidak mengutarakan perasaannya sebagai seorang
wanita.
Lucki sontak berhenti dari aktivitasnya. Tangannya masih
menggantung di saku jeansnya. Membatalkan niatnya mencari kuncinya dan
menghadap ke arah Agatha yang terpaut 3 meter di belakangnya.
“Gue tahu, gue salah punya perasaan ini ke lo. Gue salah kalau gue
suka sama sahabat gue sendiri. Tapi gue capek, Luck. Gue capek. Selama 3 tahun
gue simpen perasaan gue. Selama 3 tahun gue simpen sakit hati gue saat lo
cerita tentang pacar-pacar lo. Apa lo nggak sadar? Apa lo nggak sadar disini
gue berdiri sendiri, memperjuangkan sesuatu rasa yang ingin sekali gue akhiri!
Lo tahu kenapa gue pengen akhiri rasa gue ke lo? Supaya persahabatan kita nggak
hancur,” ucap Agatha. Tak terasa air mata Agatha turun mengalir mengikuti
alurnya.
“Oh, iya. Sebelumnya, gue bukan nembak lo, Luck. Gue cuma pengen
ngutarain perasaan gue ke lo aja. Soal perasaan lo ke gue, terserah. Yang
penting gue bakalan lega kalau udah utarain perasaan ini,” sambung Agatha.
“Ekhem, Tha.” Lucki menetralkan suaranya dari serak yang tiba-tiba
melandanya. “Sekalipun lo paksa gue buat suka ke lo setelah lo utarain perasaan
lo ke gue, gue juga masih anggep lo cuma sebatas sahabat, engga lebih. Lagian
lo juga tahu, gue pacaran sama Alenna. Sahabat lo sendiri. Lo mau jadi
pelakor?” sambung Lucki. Singkat tapi cukup menusuk di diri Agatha.
“Gue kan tadi cuma bilang ke lo, kalau ...” Ucapan Agatha terpotong
“Kalau lo cuma ngungkapin perasaan absurd lo ke gue?” potong Lucki.
“Gue sayang ke lo. Cuma sebagai sahabat. Lo harus tahu itu, Agatha Putri. Lo
cuma sosok aneh dan misterius, yang kerjaannya cuma di depan Laptop,
nulis-nulis cerita kagak jelas. Nggak pernah dandan.” Ucapan Lucki kembali
menusuk dada Agatha.
Lucki berbalik dan meninggalkan Agatha sendirian yang berdiri di
tengah padang ilalang bunga Anyelir.
“Apa ini yang lo lakukan saat lo tahu perasaan gue yang sebenarnya?
Kalau sebenarnya, gue, Agatha Putri, jatuh cinta kepada sahabatku sendiri?”
Agatha berteriak ke arah Lucki. Lucki hanya diam sebentar sambil melanjutkan
kembali jalannya menuju parkiran.
***
Agatha mengingat kejadian gilanya siang tadi. Air matanya masih
saja terus menangis sejak pulang dari bukit. Meninggalkan makan malamnya.
Mengacuhkan panggilan ibu kosnya. Mengacuhkan segalanya. Ia ingin hanya fokus
pada satu hal. Perasaannya terhadap Lucki!
Agatha belum juga mengantuk. Apalagi mengantuk, Agatha juga belum
berhenti menangis, sejak sore tadi. Dan kini, sudah tepat jam 00:00 WIB. Agatha
masih berharap agar Lucki menelponnya dan bilang ke dia sekarang, “Agatha!
Gue udah putusin Alenna demi lo. Sekarang lo harus tanggung jawab. Mulai detik
ini, lo jadi pacar gue.”
“Ah, gue sadar. Itu cuma khayalan yang nggak akan pernah terwujud.
Gue selalu ngebayangin jadi tokoh fiksi cerita-cerita gue yang hanya gue simpan
sendiri seakan-akan gue adalah seorang penulis bahkan novelis. Tapi gue sadar,
Lucki terlalu tinggi untuk gue raih. Sekarang! Gue nggak dapat cintanya dan
kehilangan sahabat gue!” teriaknya dalam tangisannya.
Ponselnya bergetar hebat. Agatha melihat nickname disana.
“Lucki?” Agatha berkata lirih.
“Hal... Haloo Luck,” ucap Agatha dengan suara orang habis menangis.
“Agatha! Gue udah putusin Alenna demi lo. Sekarang lo harus tanggung
jawab. Mulai detik ini, lo jadi pacar gue,” ucap Lucki
Agatha terdiam. “Ini adalah dejavu.”
Tidak ada komentar